Ahad, 12 Julai 2020

1:0 Tafsir Surah Al Fatihah.


Menurut jumhur ulama bahawa isti’adzah dilakukan sebelum membaca Al Qur’an untuk mengusir godaan syaitan.

Allah s.w.t. berfirman, "Maka apabila engkau hendak membaca Al Quran, mohonlah perlindungan kepada Allah dari syaitan yang terkutuk. Sungguh, syaitan itu tidak akan berpengaruh terhadap orang yang beriman dan bertawakkal kepada Tuhannya. Pengaruhnya hanyalah terhadap orang yang menjadikannya pemimpin dan terhadap orang yang mempersekutukannya dengan Allah."
(An Nahl 16:98-100)

Ertinya jika kalian bermaksud membaca.

“Jika kamu hendak mendirikan solat, maka basuhlah wajah dan kedua tanganmu…….”)
(Al Maidah: 6)

Ertinya jika kalian bermaksud mendirikan solat.

Imam Ahmad meriwayatkan dari Abu Sa’id al-Khudri, katanya, jika Rasulullah s.a.w. hendak mendirikan solat malam, maka beliau membuka solatnya dan bertakbir seraya mengucapkan: "subhanakallahumma wa bihamdika, wa tabarakasmuka wa ta‘ala jadduka, wala ilaha ghairuka."

(“Mahasuci Engkau, ya Allah, dan segala puji bagiMu. Mahaagung namaMu dan Mahatinggi kemuliaanMu. Tidak ada ilah yang hak melainkan Engkau.”)

Kemudian beliau mengucapkan: "La ilaha illallah."

(“Tidak ada ilah yang hak selain Allah”) sebanyak tiga kali.

Setelah itu beliau mengucapkan: "A-‘uudzu billahis sami’il ‘alimi minasy syaithanir rajim, min hamzihi wa naf-khihi wa naftsihi."

(Aku berlindung kepada Allah yang Mahamendengar lagi Mahamengetahui dari syaitan yang terkutuk, dari godaan, tiupan dan hembusannya.”)

Hadis ini diriwayatkan juga oleh empat penyusun kitab as-Sunan dari riwayat Ja’far bin Sulaiman, dari ‘Ali bin ‘Ali ar-Rifa’i. At-Tirmidzi mengatakan bahawa hadis ini merupakan hadis yang paling masyhur dalam masalah ini. Dan kata al Hamz ditafsirkan sebagai cekikan (sampai mati), an Naf-kh sebagai kesombongan, dan an Nafts sebagai Sya’ir.

Al-Bukhari meriwayatkan dari Sulaiman bin Shurad ia berkata: “Ada dua orang yang saling mencela di hadapan Rasulullah s.a.w. sedang kami duduk di hadapan beliau.

Salah seorang dari keduanya mencela lainnya dalam keadaan marah dengan wajah yang merah padam.

Maka Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya aku akan mengajarkan suatu kalimat yang jika ia mengucapkannya, nescaya akan hilang semua yang dirasakannya itu. Jika ia mengucapkan: a-‘udzu billahi minasy syaitanir rajiim.”

Kemudian para shahabat berkata kepada orang itu: “Tidakkah engkau mendengar apa yang disabdakan oleh Rasulullah s.a.w.?”

Orang itu menjawab: “Sesungguhnya aku bukanlah orang yang tidak waras.”

Hadis tersebut diriwayatkan oleh Imam Muslim, Abu Dawud, dan an Nasa-i, melalui beberapa jalur sanad dari al A’masy.

Jumhur ulama berpendapat bahawa isti’adzah itu sunnah hukumnya dan bukan suatu kewajiban sehingga berdosa bagi orang yang meninggalkannya. Diriwayatkan dari Imam Malik, bahwasannya ia tidak membaca ta’awudz dalam mengerjakan solat wajib.

Dalam kitab al Imla’, Imam asy Syafi’I mengatakan: "Dianjurkan membaca ta’awudz dengan jahr, tetapi jika membaca dengan sirri juga tidak apa-apa. Sedangkan dalam kitab al Umm, beliau mengatakan, diberikan pilihan, boleh membaca ta’awudz, boleh juga tidak. Dan jika orang yang memohon perlindungan itu membaca: "A‘uudzu billahi minasy syaitanir rajiim", maka cukuplah baginya.

Menurut Abu Hanifah dan Muhammad, ta’awudz itu dibaca dalam solat untuk membaca al-Qur’an. Sedangkan Abu Yusuf berpendapat, bahawa ta’awudz itu justeru dibaca untuk solat.

Berdasarkan hal ini, maka seorang makmum hendaklah membaca ta’awudz dalam solat ‘Ied. Dan menurut jumhur ulama, ta’awudz itu dibaca setelah takbir sebelum membaca al Fatihah atau surah al Qur’an.

Di antara manfaat ta’awudz adalah untuk mensucikan dan mengharumkan mulut dari kata-kata yang tidak mengandungi faedah dan buruk.

Ta’awudz ini digunakan untuk membaca firman-firman Allah. Ertinya memohon pertolongan kepada Allah sekaligus memberikan pengakuan atas kekuasaanNya, kelemahan dirinya sebagai hamba, dan ketidakberdayaannya dalam melawan musuh yang sesungguhnya (syaitan), yang bersifat bathiniyah, yang tak seorangpun mampu menolak dan mengusirnya kecuali Allah yang telah menciptakannya.

Allah s.w.t berfirman, “Sesungguhnya hamba-hambaKu, kamu tidak dapat berkuasa atas mereka. Dan cukuplah Rabbmu sebagai penjaga.”
(Al Isra’ 17:65)

Dan para malaikat telah turun untuk memerangi musuh dari kalangan manusia.

Barangsiapa dibunuh oleh musuh yang bersifat lahiriyah yang berasal dari kalangan manusia, maka ia meninggal syahid.

Barangsiapa dibunuh oleh musuh yang bersifat bathiniyah, maka mati sebagai tharid (terusir).

Dan barangsiapa dikalahkan oleh musuh manusia biasa, maka ia mendapatkan pahala, dan barangsiapa dikalahkan oleh musuh batini (syaitan) maka ia tertipu atau menanggung dosa.

Kerana syaitan dapat melihat manusia dan manusia tidak dapat melihatnya, maka ia memohon perlindungan kepada Allah yang melihat syaitan sedangkan syaitan tidak melihatNya.

Isti-‘adzah bererti permohonan perlindungan kepada Allah dari kejahatan setiap yang jahat.

Al ‘ayaadzah (permohonan pertolongan) dalam usaha menolak kejahatan.

Sedangkan Allayaadzu (permohonan pertolongan) dalam upaya memperoleh kebaikan.

"A‘udzu billahi minasy syaitanir rajim" bermaksud, "Aku memohon perlindungan kepada Allah dari syaitan yang terkutuk" agar ia tidak membahayakan diriku dalam urusan agama dan duniaku, atau menghalangiku untuk mengerjakan apa yang telah Dia perintahkan. Atau agar ia tidak menyuruhku mengerjakan apa yang Dia larang, karena tidak ada yang mampu mencegah godaan syaitan itu kecuali Allah.

Oleh kerana itu Allah memerintahkan manusia agar menarik dan membujuk hati syaitan jenis manusia dengan cara menyodorkan sesuatu yang baik kepadanya hingga dapat berubah tabiat dari kebiasaannya yang mengganggu orang lain.

Selain itu, Allah juga memerintahkan untuk memohon perlindungan kepadaNya dari syaitan jenis jin, kerana dia tidak menerima pemberian dan tidak dapat dipengaruhi dengan kebaikan.

Tabiat mereka jahat dan tidak dapat dipengaruhi oleh kebaikan. Tabiat mereka jahat dan tidak ada yang dapat mencegahnya dari dirimu kecuali Rabb yang menciptakannya.

Inilah makna yang terkandung dalam tiga ayat al-Qur’an.

Pertama firmanNya dalam surat Al A’raf yang ertinya: “Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan kebaikan dan berpaling dari orang-orang yang bodoh.” (Al-A’raaf 7:199)

Makna di atas berkenaan dengan mu’amalah terhadap musuh dari kalangan manusia.

Firman Allah, “Dan jika kamu ditimpa sesuatu godaan, maka berlindunglah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Mahamendengar lagi Mahamengetahui.” (Al A’raaf 7:200)

Allah berfirman, “Tolaklah perbuatan buruk mereka dengan yang lebih baik. Kami lebih mengetahui apa yang mereka sifatkan. dan Katakanlah: “Ya Tuhanku aku berlindung kepada Engkau dari bisikan-bisikan syaitan. dan aku berlindung (pula) kepada Engkau Ya Tuhanku, dari kedatangan mereka kepadaku.”
(Al Mukminun 23:96-98)

“Dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, Maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia. sifat-sifat yang baik itu tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang sabar dan tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang mempunyai Keuntungan yang besar. dan jika syaitan mengganggumu dengan suatu gangguan, Maka mohonlah perlindungan kepada Allah. Sesungguhnya Dialah yang Maha mendengar lagi Maha mengetahui.” (Fussilat 41:34-36)

Dalam bahasa Arab; kata syaitan berasal dari “syathana”, yang bererti jauh. Jadi tabiat syaitan itu sangat jauh dengan tabiat manusia, dan kerana kefasikannya dia sangat jauh dari segala macam kebaikan.

Ada juga yang mengatakan bahawa kata syaitan itu berasal dari kata “Syaatha” (terbakar), kerana ia diciptakan dari api.

Dan ada juga yang mengatakan bahawa kedua makna tersebut benar, tetapi makna pertama yang lebih benar.

Menurut Sibawaih, bangsa Arab biasa mengatakan: tasyaithana fulaanun; jika fulan itu berbuat seperti perbuatan syaithan.

Jika kata syaitan itu berasal dari kata “Syaatha”, tentu mereka mengatakan: “tasyaitha”.

Jadi menurut pendapat yang benar, kata syaitan itu berasal dari kata “syathana” yang bererti jauh.

Oleh kerana itu mereka menyebut syaitan untuk setiap pendurhaka, baik jin, manusia maupun haiwan.

Allah berfirman, “Dan demikianlah Kami jadikan bagi tiap-tiap nabi itu musuh, iaitu syaitan-syaitan (dari jenis) manusia dan (dari jenis) jin, sebahagian mereka membisikkan kepada sebahagian yang lain perkataan-perkataan yang indah-indah untuk menipu (manusia).”
(Al An’am 6:112)

Dalam kitab Musnad Imam Ahmad, disebutkan hadis dari Abu Dzarr r.a. bahawa Rasulullah s.a.w. bersabda: “Wahai Abu Dzarr, mohonlah perlindungan kepada Allah dari syaitan-syaitan jenis manusia dan jin.” Lalu aku bertanya: “Apakah ada syaitan dari jenis manusia?” “Ya.” Jawab beliau.

Sedangkan dalam sahih Muslim diriwayatkan dari Abu Dzarr, berkata, Rasulullah bersabda: “Yang dapat membatalkan solat itu adalah wanita, keldai, dan anjing hitam.” Kemudian kutanyakan: “Ya Rasulullah, mengapa anjing hitam dan bukan anjing merah atau kuning?” Beliau menjawab: “Anjing hitam itu adalah syaitan.”

Kata “arrajiim” berwazan “fa-‘iilun” (subjek) tetapi bermakna “maf-‘uulun”(objek) bererti bahawa syaitan itu terkutuk dan terusir dari semua kebaikan.

Firman Allah, “Sesungguhnya Kami telah menghiasi langit yang dekat dengan bintang-bintang dan Kami jadikan bintang-bintang itu alat-alat pelempar syaitan.”
(Al Mulk 67:5)

Tiada ulasan:

KANDUNGAN.

JUZUK 1. Isti'adzah.    Al Fatihah 1 , 2 , 3 , 4 , 5 , 6 , 7 . Al Baqarah 1-5 , 6-7 , 8-9 , 10-16 , 17-20 , 21-25 , 26-27 , 28-29 , 3...